Dukung Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan
Blog ditulis oleh Sumardi Ariansyah - 10 Februari, 2015 di 15:001 komentarPenangkapan ikan berlebihan atau “overfishing” di Indonesia sudah sampai pada tingkat yang sangat mengkuatirkan, sehingga tidak heran jika pemerintah lewat Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) dalam 3 bulan terakhir mulai mengambil langkah tegas untuk menghentikan cara-cara penangkapan yang tidak berkelanjutan. Penangkapan ikan berlebihan berdampak buruk bagi ekosistem dan kehidupan laut dan juga masa depan perekonomian kita.Overfishing dapat diartikan sebagai penurunan sumberdaya laut dengan cepat yang disebabkan karena aktivitas penangkapan yang tinggi sehingga menimbulkan degradasi pada ekosistem laut, dan sumber daya ikan dan biota laut lainnya semakin berkurang tanpa ada kesempatan untuk bereproduksi secara berkelanjutan. Overfishing umumnya terjadi karena maraknya kapal-kapal penangkap ikan besar atau dalam jumlah yang banyak yang menggunakan alat penangkapan ikan masif dan tidak berkelanjutan. Apa sajakah alat penangkap ikan yang dikategorikan merusak dan telah dilarang penggunaannya di Indonesia?Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.2/PERMEN-KP/2015 terdapat dua kelompok alat tangkap yang telah dilarang penggunaan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia, yaitu pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets). Dua alat tangkap ikan ini memiliki banyak varian, diantaranya untuk pukat hela terdiri dari: pukat hela dasar (bottom trawls), pukat hela pertengahan (midwater trawls), pukat hela kembar berpapan (otter twins trawls) dan pukat dorong. Sementara pukat tarik memiliki dua jenis diantaranya yaitu: pukat tarik pantai (beach seines) dan pukat tarik berkapal (boat or vessel seines).Pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) menangkap segala jenis biota dan spesies yang dilewatinya sehingga dapat mengancam ketersediaan stok dan sumber daya ikan, membahayakan satwa yang dilindungi (lumba-lumba, hiu, dan penyu), serta mengakibatkan degradasi ekosistem lautan yang pada akhirnya akan merugikan nelayan.Mengingat praktik penggunaan alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan dan dampaknya yang buruk, membuat lembaga pangan dunia, Food Agriculture Organization (FAO), pada tahun 1995 menetapkan kode etik penangkapan ikan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan atau disebut Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang diantaranya menguraikan bahwa alat tangkap harus memiliki selektifitas tinggi, tidak merusak keanekaragaman hayati dan tidak membahayakan nelayan.Dukungan pemerintah dan masyarakat luas terhadap penggunaan alat tangkap yang lebih berkelanjutan, seperti pancing ulur (hand line) dan huhate (pole and line) akan menjadi salah satu kunci perbaikan tata-kelola perikanan di Indonesia. Pemerintah sudah seharusnya memberikan sejumlah bantuan dan pendampingan prioritas kepada nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing ulur dan huhate agar dapat berkembang dengan baik serta mendapatkan jangkauan akses pemasaran yang luas, baik di pasar lokal dan global.Sudah saatnya pelaku perikanan di Indonesia untuk benar-benar menggunakan alat tangkap ikan yang berkelanjutan sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan perlindungan ekosistem agar laut terus terjaga sehat hingga generasi yang akan datang dan seterusnya.Dukung penggunaan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan dan tunjukan pesan cinta #OceanLovers untuk laut sehat dan terlindungi di sini!
Jakarta, 09 Maret 2015 – Perusahaan kertas berbasis Singapura, Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) dan grup induknya Royal Golden Eagle (RGE) sedang mengalami tekanan setelah perusahaan internasional pembuat “Post-It Notes” 3M memutuskan hubungan bisnis dengan RGE terkait praktik penghancuran hutan hujan. Bank asal Spanyol, Santander, mengambil keputusan untuk tidak lagi memberikan pendanaan kepada APRIL karena alasan yang sama, dan bank ABN AMRO akan menghentikan pendanaan hingga APRIL menerapkan moratorium pembukaan hutan.
Bekerja sama dengan ForestEthics dan Greenpeace, akhir pekan lalu 3M meluncurkan hasil revisi kebijakan pengadaan seluruh bubur kertasnya untuk memastikan sumber pasokannya berasal dari praktik yang berkelanjutan. Melalui kebijakan yang merupakan salah satu standar tertinggi di industri untuk perlindungan hutan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia, 3M kini bisa membuat perusahaan penyuplai bertanggungjawab atas sumber pasokannya.
Dalam menerapkan kebijakan itu, 3M sudah membatalkan kontrak dengan Sateri perusahaan penyuplai kertas dari kelompok RGE, dengan mengirimkan surat yang memberi alasan bahwa “Kelompok Royal Golden Eagle [RGE] terlibat deforestasi dan konflik sosial.”
Todd Paglia, Direktur Eksekutif ForestEthics mengatakan: “Konsumen semakin menuntut jaminan bahwa produk yang mereka beli dibuat dengan cara yang melindungi lingkungan dan menghargai hak asasi manusia - keterbukaan seperti ini dan kepemimpinan 3M yang ada dalam revisi kebijakan mereka merupakan langkah maju yang penting bagi industri.”
Zulfahmi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan: “Pemutusan hubungan bisnis dengan penghancur hutan kontroversial seperti kelompok Royal Golden Eagle (RGE) di mana APRIL ada di dalamnya, 3M telah memperlihatkan keseriusannya untuk membalikkan kebijakan barunya menjadi tindakan nyata. ”
Selain ini, dalam beberapa bulan terakhir, Greenpeace sudah berbicara dengan ABN AMRO tentang pendanaan terhadap APRIL. Menindaklanjuti diskusi ini, ABN AMRO juga telah mendesak APRIL untuk mengambil langkah mengatasi deforestasi dimulai dengan menghentikan segera penebangan hutan selanjutnya. ABN AMRO tidak akan menyediakan pendanaan lanjutan hingga APRIL sudah merealisasikan ukuran-ukuran baru keberlanjutan yang membuktikan bahwa mereka mematuhi kebijakan kriteria keberlanjutan ABN AMRO. Untuk memastikan kriteria tersebut cukup kuat, ABN AMRO sedang merangkul berbagai pihak kepentingan untuk memperkuat kebijakan pendanaan dan memastikan investasi tersebut tidak berkontribusi terhadap deforestasi dan membantu perlindungan alam.
Sebelumnya pada akhir Februari lalu, lembaga keuangan multinasional Bank Santander telah menghentikan pendanaan lanjutan kepada APRIL dengan alasan serupa. Kebijakan Bank Santander tersebut diputuskan hanya berselang tiga minggu setelah Greenpeace meluncurkan kampanye global terhadap perbankan yang memberikan pembiayaan terhadap perusahaan perusak hutan APRIL.
“Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan untuk bank-bank di Indonesia, dengan tujuan supaya deforestasi dan pengeringan lahan gambut bisa dihentikan untuk mencapai target penurunan emisi GRK. Langkah yang diambil oleh ABN AMRO dan Santander yang tidak mau lagi mendanai perusahaan seperti APRIL yang terlibat deforestasi, berhasil menyempitkan opsi pendanaan untuk RGE, baik di Indonesia maupun di luar negeri,” terang Zulfahmi.
APRIL kini menjadi salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia yang menghancurkan hutan gambut untuk ditanami kebun akasia. Selain itu, sejumlah organisasi lingkungan juga menyebut APRIL melanggar peraturan terkait kehutanan dan menyebabkan konflik dengan masyarakat lokal. Secara ironi perusahaan ini juga gagal melindungi hutan meski punya komitmen perlindungan yang dikeluarkan awal tahun 2014.